Akuntansi adalah proses pengidentifikasian, pengklasifikasian, penilaian dan penyajian data keuangan dalam suatu wadah yang disebut laporan keuangan sesuai dengan PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum) untuk sektor private dan SAP (Standar Akuntansi Pemerintah) untuk sektor publik. Berawal dari bukti transaksi yang diidentifikasi kemudian diklasifikasikan atau bahasa kerennya diposting ke akun masing-masing dan disajikan serta dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. Itu mengenai definisi akuntansi.
Akuntansi tentunya tidak pernah lepas dengan yang namanya uang (ya karena uang adalah objek utama dari akuntansi) lebih tepatnya penggunaan uang yang "diperlakukan" sesuai dengan prinsip akuntansi agar mudah untuk dinilai pertanggungjawabannya. Selain itu akuntansi tentunya juga tidak pernah lepas dengan yang namanya fraud (kalo ini tergantung ke personalnya), fraud itu bisa terjadi jika ada celah dan kepentingan, ini yang disebut dengan ambisi. Semua ilmu pengetahuan itu tujuannya baik para pelaku yg dihinggapi tujuan2 ttn saja yang membuat aplikasi dari ilmu pengetahuan itu menjadi tidak sesuai tujuan utamanya. Seperti di dalam akuntansi kt mengenal penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, lapping, kitting, dll. Itu semua untuk uang bukan? Ya untuk uang, tetapi uang yang tidak "enak" karena uang yang diperoleh dari proses yang haram maka uang tersebut juga haram. Be careful yak teman2...semoga kt semua terhindar dari hasrat2 tdk baik tersebut. aamiin.
Ini ada tulisan yang dikutip dari www.media.kompasiana.com yang relevan dengan tulisan sy kali ini:
"Korupsi Menurut Islam
Apakah definisi korupsi menurut Islam? Tim penulis buku Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Dalam Muhammadiyah & Nahdlatul Ulama (NU) yang terdiri dari Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah dan Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi PBNU ini mengungkapkan bahwa kosakata korupsi memang tidak termaktub secara eksplisit di dalam khazanah hukum Islam. Tapi memang ada beberapa konsep kunci dalam fiqih Islam yang mengacu pada definisi korupsi (hal. 17-31 & hal. 120-134).
Dilihat dari artinya sebagai tindakan mencuri atau mengambil harta pihak lain secara tidak sah, korupsi semakna dengan konsep sariqah (mencuri). Sedangkan bila ditengok dari sisi pendekatan kekuasaan, korupsi dapat digolongkan sebagai risywah (suap). Tapi risywah lebih mencakup daripada hanya sekedar suap. Sebab risywah terjadi tidak cuma di kalangan pejabat, tetapi juga di tingkat rakyat. Apalagi jika menyangkut hubungan timbal-balik antara keduanya dalam penciptaan kemudahan urusan publik, transaksi politik jual-beli suara dalam Pemilu, atau hanya sekedar pemberian uang rokok dalam penyelesaian adiministrasi KTP.
Sementara itu, ditilik dari sisi penggelapan harta publik/negara, korupsi masuk dalam pengertian ghulul(penggelapan harta). Inilah konsep yang paling dekat dengan definisi korupsi. Karena baik korupsi danghulul sama-sama terjadi dalam aras urusan harta publik di kalangan lingkar dan luar kekuasaan. Terakhir, korupsi bisa disejajarkan dengan hirabah (pembegalan/perampokan besar-besaran). Ini jika ditinjau dari dampak kerusakan tatanan peradaban yang ditimbulkannya. Kalau ada pejabat yang menyunat dana pembangunan jalan raya, jembatan, tol, dan reboisasi hutan, maka tindakannya itu termasuk hirabah.
Titik persuaan pemahaman Muhammadiyah dan NU ada pada sikap mereka. Bahwa korupsi adalah kejahatan yang dilaknat Allah SWT. Siapa pun yang bersyahadat tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, hendaklah ia tidak berkorupsi. Sebab dengan berkorupsi berarti ia telah menggusur kedaulatan Tuhan dan menggantinya dengan kedaulatan uang. Meskipun ia tergolong seorang muslim yang rajin beribadah, beramal, dan acap menyumbang pembangunan masjid (hal.142-144).
Korupsi Adalah Syirik
Ketua Umum PBNU 2004-2010, KH. Hasyim Muzadi, dalam kata sambutannya di buku ini menyatakan bahwa tiada hukuman yang pantas bagi koruptor selain dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang, atau minimal diusir dari lingkungannya. Jika ia meninggal dunia, jenazahnya pun tidak boleh disholatkan sampai ia melalui ahli warisnya mengembalikan harta yang ia tilap kepada negara (hal. xii). Separah itu? Ya! Karena korupsi adalah perbuatan menduakan Tuhan (syirik). Senada dengan itu, Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, terang-terangan menyatakan bahwa korupsi itu termasuk TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) atau syirik di abad modern (xxx).
Pemikiran tentang status kesyirikan korupsi ini adalah kemajuan akbar. Selama ini korupsi hanya dianggap sebagai sesuatu yang dilarang agama. Parahnya, korupsi sering teronggok dalam debat kusirfiqhiyyah saja. Sehingga masyarakat masih menolerir korupsi dalam takaran yang masih wajar sembari menanggok laba di sana. Karena itu status hukum korupsi harus dinaikkan dari taraf hukum-fiqhiyyah ke taraf iman-aqidah. Simpulan akhirnya dapat ditebak dari judul buku ini; koruptor itu kafir. Sungguh telah gugurlah iman seorang muslim yang korup.
Namun, buku ini mengakui perlunya usaha yang lebih dahsyat dari cuma “seremeh” mengkafirkan koruptor. Sebab sejauh ini nalar pemberantasan korupsi di Indonesia masih berkutat dalam tlatah penindakan saja. Nyaris tak ada pencegahan. Entah itu berbentuk penataan sistem dan struktur sosial kebal korupsi, pelahiran produk dan pranata hukum antikorupsi, ataupun penanaman nilai-nilai antikorupsi dalam sistem pendidikan bangsa. Padahal untuk menolakbala korupsi, bangsa ini membutuhkan nalar pencegahan. Apalagi modus korupsi semakin lama semakin canggih. Pelakunya pun kian cerdas nian bersiasat.
Ulama Pelawan Korupsi
Berasaskan itu, secara implisit buku ini menyarankan agar para ulama menyeringkan diri untuk menaja ijtihad mereka dalam sekup progresifisasi hukum berbasis rasa keadilan-kemanusiaan, sensitifitas sosial, dan nalar kritis (hal. xviii-xx). Sejak awal, watak progresif telah tidak tertera di dalam sistem dan produk hukum kita. Tidak heran jika hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor berbanding kerap lurus dengan hukuman bagi pencuri HP. Tak ganjil jika seorang Nenek Minah diadili cuma karena mencuri tiga buah Kakao. Sementara para koruptor kelas ikan paus bebas menghambus.
Selain itu ulama pun dituntut untuk berijtihad dalam memproduksi hukum agama maupun -secara minimal- fatwa berefek sistemik dan struktural. Jangan hanya menghukumi dan berfatwa tentang kopi luwak, golput, atau ihwal aliran-aliran sesat saja sebagaimana selama ini terjadi. Bagaimana para pewaris para nabi itu sudi berijtihad untuk mengharamkan anggaran negara, produk hukum, serta kebijakan yang tidak bermaslahat-sosial sekaligus membuka peluang korupsi, itu harus diutamakan.
Tentu kita dapat bertanya, adakah ulama yang memfatwakan keharaman menyusun anggaran untukstudy banding para wakil rakyat ke luar negeri yang lebih besar daripada anggaran untuk Jamkesmas? Adakah ulama yang lantang mengharamkan manipulasi laporan keuangan yang sengaja dibuat over estimated untuk mengesankan peningkatan pertumbuhan ekonomi? Adakah ulama yang bersedia mengharamkan bisnis rekayasa keuangan dalam modus transfer pricing yang jelas-jelas merugikan negara? Adakah Kyai, Syekh, Ustadz, dan agamawan yang berani mengharamkan produk hukum yang merugikan rakyat, merusak lingkungan, dan mengobral sumber daya alam bangsa?
Jika tak ada, mari membaca buku alternatif bagi bangsa yang sedang tertikam uang ini. Dalil-dalil naqli baik dari al-Quran maupun Sunnah ditampilkan dalam format pembacaan fakta-fakta korupsi yang terjadi. Sayangnya, buku ini alpa melampirkan rujukan pustakanya. Tapi tak apa. Ia tetap layak dikategorikan sebagai buku wajib baca. Khususnya bagi para pejabat publik dan wakil rakyat. Setiap Jumat, di setiap masjid, alangkah elok jika para juru khutbah pun mau menyampaikan isi buku ini ke khalayak umat. Amin."